Aku bukan orang asing bagi teko kopi di kompor di rumah satu kamar tidur kami yang merupakan kediaman ayahku, Nenek Carroll, saudara laki-lakiku, Bobby, saudara perempuanku, Beverly, dan aku sendiri.
Kami sangat takut membuat kopi untuk Dad saat giliran kami tiba. Dia akan berkata, "Gary, buatkan Dad secangkir kopi." Aku sedang menonton Johnny Weissmuller bertarung dengan singa atau buaya dalam film Tarzan di televisi hitam putih pada Minggu sore dan tidak mau meninggalkannya. Dad suka kopi hitam. Tidak sulit membuatnya - cukup panaskan air, tambahkan dua sendok kopi instan ke secangkir air yang sudah mendidih, dan bawa cangkir itu ke Dad.
Suatu hari, pikiran jail khas remaja terlintas di benakku. Kalau diminta membuatkan secangkir kopi lagi, aku akan mengerjainya sehingga dia tak akan pernah memintaku membuatkannya lagi! Aku tak perlu menunggu lama untuk menjalankan rencana jahatku; dia memintaku membuatkan kopi keesokan harinya.
Aku menyalakan kompor, meletakkan teko kopi biru tua di atasnya dan menunggu air mendidih. Aku tergelak saat membuka tutup kaleng kopi instan, berharap dia tidak sakit, dan menuangkan empat sendok penuh kopi ke air yang sudah mendidih. Sambil bersikap biasa aku berjalan dari dapur ke meja buatan Dad sendiri, merasa yakin itu kali terakhir aku membuat kopi untuknya. Dia berterima kasih saat aku meletakkan cangkir di mejanya dan menyingkir.
Saat diam-diam melihat ke arahnya dari ruang tengah, aku merasa terkejut. Dad benar-benar meminum kopinya! Dia bahkan menghabiskannya! Tak mungkin! "Gary Lee! Sini kamu!" suara ayahku mengguntur, tepat seperti yang kuperkirakan. Tugas rumah tambahan apa yang akan diberikannya kepadaku kali ini? Aku bertanya-tanya.
Aku melangkah ke arahnya, dengan kepala terkulai seperti anak anjing yang baru saja melakukan kesalahan, tapi dalam hati tertawa, perlahan mendekati sang sipir untuk menerima kabar buruk. Saat mengangkat kepala, aku melihat mata biru langitnya yang tajam menusuk dan… senyum lebarnya. Ayahku membuka mulut dan berkata, ”Gary, ini kopi terbaik yang pernah Dad nikmati dalam hidup!” Yah, aku tahu hari-hari membuat kopi untuk Dad jauh dari berakhir. Kenyataannya, seperti bisa kau duga, giliranku jadi makin sering dibanding sebelum aku menjalankan rencana brilianku itu.
Suatu hari, situasi berbalik. Perutku sakit parah dan rasa sakit itu tak mau pergi sehingga Dad, sang ahli obat buatan rumah, membuatkanku secangkir kopi. Namun, kopi ini berbeda. Dia memasukkan sesendok teh kopi, sejumlah garam, merica, saus Tabasco, rempah-rempah, jus lemon, dan bahan-bahan lain ke secangkir air panas. Setelah dipaksa menghabiskannya, aku memuntahkan seluruh isi perutku dan seketika merasa lebih baik. Aku tak pernah lagi membiarkan Dad tahu kalau, dan saat, perutku sakit.
Tak diragukan lagi pengalaman itu menjadi bagian dari alasanku tak pernah mau mencicipi kopi. Namun, aku merasakan banyak hal lain dari ayahku sebelum dia meninggal; kebaikan hati, cinta akan Tuhan, nilai pelayanan, cara menjadi orang baik - dan, tentu saja, cara membuat secangkir kopi yang benar-benar enak.
More From Author
Kisah